Our Blogger Templates Web Design

Jumat, 27 Januari 2012

Merealisasikan Tauhid

Pembahasan ini merupakan tema yang cukup menarik bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya orang yang beriman ingin membuktikan keimanannya. Dengan demikian dia dinobatkan sebagai seorang mu’min sejati. Tidak ada jalan untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah subhanaahu wa ta’ala.
Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan terus menerus. Maka seseorang yang berkemauan untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana yang diutarakan tadi.
Merealisasikan tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud yaitu mentauhidkan Allah dalam perkara Rububiyah, uluhiyyah serta nama dan sifatnya. Termasuk pula mentauhidkan Rasulullah shallallahu ,alaihi wasallam dalam perkara mengikutinya. Pemgertianya adalah dia tidak mengikuti kecuali  Rasulullah shallallahu ,alaihi wasallam. Inilah yang disebut dengan tauhid mutaba’ah.
Seseorang yang mengucapakan dua kalimat syahadat hendaknya membersikan tauhid dari berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak disertai dengan bertaubat. Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid Lailaha illallah. Di samping itu dia harus terlepas dari segala kebid’ahan (urusan agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah    shallallahu ,alaihi wasallam). Ini merupakan realisasi ucapan tauhid Muhammadur Rasulullah. Maka demikianlah makna merealisasikan tauhid secara sempurna.
Disamping terbebasnya dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik yang jelas maupu yang tersembunyi, seseorang yang bertauhid harus terlepas pula dari segala kebid’ahan dengan terus meneus tanpa bertaubat. Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah dengan hawa nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam memperbuat sebuah dosa besar. (penjelasan ini diterangankan oleh Asy-Syaikh Shahih bin ‘Abdul ‘Azis Alus-Syaikh dikaset pelajaran Kitabut-Tauhid).

Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:

  1. Tingkat Wajib
Yaitu seseorang yang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan memurnikannya dari berbagai jenis kesyirikan kebid’ahan, dan dosa besar yang dilakukan secara terus-menerus. Ini merupakan tingkatan yang wajib bagi orang yang ingin merealisasikan tauhid dengan sempurna. 

  1. Tingkat Mustajab
Tingkat ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. oleh sebab itu tingkat ini lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama. Seseorang yang ingin menduduki tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud menghambaan diri, keinginan , dan tujuan  yang menghadap kepada selain Allah. Sehingga dirinya tidak selain Allah sedikit pun dan sekecil apa pun. Maka hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya menjadi hamba Allah secara total dan utuh. 

Dengan demikian, seseorang yang menempati tingkat ini tidak hanya meninggalkan berbagi jenis kesyikiran, kebid, ahan dan kemaksiatan. Namun dia juga meninggalan perkara-kara yang makrum, bahkan sebagian perkara mubah yang  dikhawatirkan menggiring kepada perkara haram. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan pernyataan,”Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa karena khawatir terdapat dosa didalamnya.”
Tingkatan kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid secara sempurna dalam meraih derajat yang setinggi-tingginya ketika masuk surga. Sedangkan tingkatan yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa adzab dan perhitungan amal. Tentunya kedua tingkatan di atas memiliki pula perbedaan dalam mengibadahi Allah shubhanahu wat’ala. Jika tingkat pertama hanya mengibadahi Allah dengan perkara-perkara yang wajib saja.
Berbeda dengan hal tingkat kedua, pada tingkat ini peribadahan kepada Allah tidak hanya sebatas dalam perkara-perkara yang wajib saja tetapi juga dalam pekara-perkara yang mustajab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtasid sedang tingkat an yang kedua disebut dengan As-Saabiq bil Khairat. Wallahu a’lam.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam profil muwahhid sejati

Allah berfirman dalam Al-Quranul karim, 

“Sesungguhnya Ibrahim seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hasif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang berbuat syirik. “
(QS.An-Nahl:120)

Disini Allah memberitakan tentang profil Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang merealisasikan tauhidnya secara sempurna. Beliau adalah seorang yang tunduk dan patuh kepada Allah dengan terus-menerus dalam seluruh situasi, kondisi dan tempat.
Sifat lain yang dimiliki beliau yaitu menghadapkan diri kepada Allah dengan sepenuhnya tanpa berpaling sedikitpun  kepada yang selain-Nya. Seluruh sifat beliau ini merupakan hakikat penerapan tauhid yang sempurna kepada Allah.
Pada ayat di atas diterangankan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihisalaam tidak termasuk dari golongan orang-orang yang berbuat syirik (musyrikin). Kandungan ayat ini mencakup dua makna:
  1. bahwa Nabi Ibrahim‘alaihissalam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara fisik artinya beliau ‘alahissalam berlepas diri, tidak bergabung dan berkumpul bersama-sama kaummusyrikin dengan jasadnya.
  2. bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara sifat dan perilaku.  Artinya beliau ‘alahissalam berlepas diri dan tidak melakukan kesyirikan sama sekali. Demikian pula beliau ‘alaihis salam tidak mengikuti adapt kebiasaan kaum musyrikin yang bergelimang dengan kebid’ahan dan kemaksiatan di samping kesyirikan.
(Seluruh  keterangan yang lalu disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alus Syaikh dikaset Kitabul Tauhid).
Pada ayat di atas dinyatakan bahwa  Nabi Ibrahim ‘alahissalam disebut sebagai satu umat padahal beliau sendirian. Maksudnya agar orang-orang yang menempuh jalan tauhid tidak merasa ngeri karena jumlah penganutnya sedikit.
        Selanjutnya beliau ‘alahissalam dikukuhkan oleh Allah sebagai seseorang yang tunduk dan patuh-Nya. Berarti beliau ‘alaihissalam bukan orang yang tunduk kepada penguasa atau orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka.
Maka tidak ada yang bias mengusai beliau ‘alaihissalam selain Allah, baik dari golongan penguasa maupun orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Beliau ‘asalahissalam tidak bisa dibelai dengan kekuasaan, harta, atau yang selainnya. Karena pendirian beliau ini Allah menyebutnya sebagai seorang yang patuh dan tunduk pada-Nya.
Berikutnya beliau ‘alaihissalam disifatkan sebagai seorang yang hanif. Maksudnya beliau ‘alahissalam seorang yang hanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari yang selain-Nya tanpa menyimpang kekanan dan kekiri. Demikianlah Asy-Syikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim ‘alahissalam sebagaimana ayat diatas.

Kriteria Orang-orang Yang Bertauhid

Allah berfirman dalam Al-Quranur Karim,

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dn merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
 (Al-Mu’minun: 57-61)

Ayat-ayat diatas menyebutkan kriteria orang-orang yang beriman dan bertauhid dengan baik. Tentang Firman Allah,”Sesungguhnya orang-orangyang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka,…Ibnu Katsir rahimahullah berkata “Mereka berbuat baik dan beramal shaleh karena takut terhadap Rabb mereaka karena takut/khawatir ditimpa oleh sesuatu yang mereka tidak inginkan. Inilah kondisi seorang mukmin, berbuat kebaikan karena takut kepada Allah dan khawatir tidak memperoleh apa yang mereka inginkan.”
Al-Hasan Al-Basri rahimahullah mnyatakan bahwa,”Sorang mukmin mengumpulkan antara perbuatan baik dan rasa takut kepada Allah. Sedangkan orang munafik mengumpulkan antara perbuatan jelek dan rasa aman dari siksa Allah.”
Tenetang firman Allah , Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka….perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:

  1. Beriman dengan ayat-ayat Allah Al-Kauniyyah.
Maksudnya beriman bahwa segala yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah.

  1. Berman dengan ayat-ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Maksudnya beriman kepada syariat yang Allah turunkan melalui Nabi shalahu ‘allahiwasallam. Ayat Allah Asy-Syar’iyyah mengandung tiga hal:

  1. Perintah yang disyariatkan.Ini adalah perkara yang dicintai Allah.
  2. Larangan yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dibenci Allah.
  3. Kabar yang diberitakan oleh Allah dalam syariat-Nya. Kabar ini benar dan tidak dusta sebab datangnya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Tentang firman Allah,”Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)….perlu diketahui  bahwa tidak berbuat syirik yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna yang menyeluruh dan mencakup semua jenisnya. Artinya tidak berbuat syirik besar maupun kecil, baik yang jelas maupun tersembunyi. Ini adaalh sifat seorang yang merealisasikan tauhid secara sempurna.
Jika dinyatakan “tidak bebuat syirik” sedikitpun, berarti terlepas pula dari perbuatan bid’ah dan maksiat. Sebab perbuatan bid’ah dan maksiat merupakan realisasi menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Inilah yang disebut syirik. Coba perhatikan firman Allah ta’ala,

”Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah(sesembahan)-nya”. 
 (Al-Jatsiyah: 23)

Wallahu a’lam bishshawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar