“Halo! Sorry, kamu berangkat saja duluan, nanti kita ketemu dikerjaan ?” kata seseorang dibalik telepon sellularku. Semuanya berjalan normal dan tak ada yang mendorongku berangkat tidak seperti pada jalan yang biasa aku lewati. Dan seperti biasanya banyak mimpi dan keinginan sejalan dengan deru laju kendaraan yang aku jalankan. Hanya perutku saja yang sedikit melilit karena makan yang terlambat.
Entah suatu kebetulan atau memang sudah menjadi jalan takdir yang Allah tunjukan padaku hingga pada suatu titik dimana mataku tertuju pada sesosok anak manusia sebagaimana diriku, tepat dipersimpangan lampu merah Tugu Tani. Sesosok anak manusia yang begitu tegar menghadapi kerasnya cobaan hidup, seorang pedagang Koran yang hanya bisa terduduk menunggu pembeli mendekat padanya ditengah pembatas tengah jalan yang menjadi satu-satu tempat berlindung dari hempasan kendaraan yang lalu lalang. Seorang pedagang Koran yang hanya bisa terduduk diatas kursi rodanya karena (maaf) harus kehilangan satu atau entah kedua kakinya karena aku tak melihat dengan pasti pada saat itu. Ada bulir air mata yang tak mampu aku bendung tatkala aku merasakan betapa tegar jiwa pedagang itu dengan segala kekurangannya. Kekurangan yang tak mampu mengendurkan semangat untuk tetap hidup, semangat untuk menggapai setiap mimpi yang dia mampu. Begitu tegar dia jalani kerasnya hidup, begitu tegar dia mengindar dari kenistaan dengan tidak menjadi seorang pengemis guna mencukupi kebutuhan hidupnya.
Satu lagi pelajaran hidup dari perjalanan hidup yang telah Allah tunjukan padaku yang sebelumnya tidak pernah aku terima di bangku sekolah. Pelajaran tentang ketegaran hidup, yang terkadang kita tidak sadar. Sungguh betapa beruntungnya kita yang secara fisik sempurna dan mampu namun terkadang jiwa kita lemah bahkan rapuh dalam menghadapi cobaan dan himpitan hidup. Sering pula kita dikerdilkan oleh ketakutan-ketakutan dengan apa yang belum kita hadapi. Rasa malu dan takut lebih sering mendominasi pikiran kita, sehingga sering kita mengerjakan sesuatu yang menyimpang untuk menutupi rasa malu dan rasa takut akan kemiskinan. Dan anehnya banyak diantara kita tidak takut dan malu mengerjakan hal yang “memalukan” dan bahkan hal yang “menakutkan” untuk menutupi kemiskinan. Yang pada akhirnya kita hanya bisa menilai kemiskinannya telah menutupi nurani dan akal sehatnya. Kepandaiannya semata hanya untuk mengatur muslihat demi menutupi setiap kebodohannya.
Pada intinya kita tak perlu takut dan malu pada keadaan karena sesungguhnya ada banyak jalan yang bisa kita tempuh tanpa harus kita menjatuhkan diri pada kenistaan dimata Allah maupun manusia karena kita takut berusaha diluar hal yang memalukan dan menakutkan. Seperti apa yang selalu ibuku katakan,” Nak ! kita jangan pernah takut pada bayangan. Dan ingatlah Allah. Karena Allah selalu bersama kita.” (terima kasih ibu aku akan selalu mengingatnya)
Untuk pedagang Koran terima kasih atas pelajaran yang telah engkau berikan tanpa pernah engkau ketahui tentang apa yang pernah engkau memberikan padaku. Aku akan selalu mengingatmu walau aku tak pernah tahu siapa engkau yang sebenarnya. Pelajaran singkat namun Insya Allah mampu berdampak besar pada masa depanku kelak dan bukanlah sekedar menjadi sebuah teori yang hanya menghiasi dinding benak dan hatiku. Semoga kelak atas bimbingan Allah aku mampu mengerjakan apa yang telah menjadi mimpi tanpa harus takut dan malu mengerjakan sesuatu yang “tidak memalukan” dan “tidak menakutkan”……amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar